Sepakbola Indonesia sepanjang 2015 bisa dibilang
berada di titik nadir. Mulai dari terhentinya kompetisi lantaran adanya konflik
PSSI dengan Kemenpora, hingga berimbas pada sanksi suspensi FIFA terhadap
Indonesia per 30 Mei 2015.
Sanksi FIFA langsung membuat timnas Indonesia maupun klub-klub Indonesia terisolasi dari event internasional. Hal itu pula yang membuat peringkat Indonesia di FIFA semakin terpuruk ke posisi 179, posisi terburuk sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di FIFA.
Sanksi FIFA langsung membuat timnas Indonesia maupun klub-klub Indonesia terisolasi dari event internasional. Hal itu pula yang membuat peringkat Indonesia di FIFA semakin terpuruk ke posisi 179, posisi terburuk sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di FIFA.
Kondisi
ini membuat para pesepakbola Indonesia yang memang hidupnya hanya mencari
nafkah dari sepakbola menjadi resah. Itu menyebabkan mereka mulai berpikir
mencari kerja sampingan di luar sepakbola mulai dari menjadi tukang ojek,
hingga menjadi operator mainan odong-odong. Itu semua hanya untuk menyambung
hidup mereka sehari-hari, sambil sesekali ikut bermain turnamen antar kampung
(tarkam).
Meski begitu, di tengah ketidakpastian ini ada juga beberapa pemain yang memilih untuk berkiprah di luar negeri. Sebut saja, Adam Alis Setyano (East Riffa), Dedi Gusmawan (Zeyar Shwe Myay), serta dua pemain naturalisasi Greg Nwokolo (BEC Tero Sasana) dan Victor Igbonefo (Osotspa Samutprakan).
Meski begitu, di tengah ketidakpastian ini ada juga beberapa pemain yang memilih untuk berkiprah di luar negeri. Sebut saja, Adam Alis Setyano (East Riffa), Dedi Gusmawan (Zeyar Shwe Myay), serta dua pemain naturalisasi Greg Nwokolo (BEC Tero Sasana) dan Victor Igbonefo (Osotspa Samutprakan).
Beruntung,
untuk yang tetap memilih bertahan di tanah air, ada dua turnamen level nasional
yang digelar, yakni Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman. Setidaknya, dua
turnamen itu sejenak bisa mengobati keresahan pesepakbola Indonesia, sekaligus
menambah pemasukan mereka.